Biodata Ki Hadjar Dewantara
|
|
Nama
|
Ki Hadjar
Dewantara (sejak 1922)
|
Nama Kecil
|
RM Suwardi
Suryoningrat
|
Tmpt/Tgl Lahir
|
Yogyakarta,
Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889
|
Meninggal
|
Yogyakarta,
26 April 1959 pada umur 69 tahun, dimakamkan di Taman Wijaya Brata Yogjakarta.
|
Nama Ayah
|
Kanjeng
Pangeran Ariya (KPA) Suryaningrat.
(Pangeran Suryaningrat
adalah putra sulung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam III,
raja agung Paku Alaman di Yogyakarta)
|
Nama Ibu
|
Raden Ayu
Sandiah
|
Pendidikan
|
§
Sekolah
Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)
§
STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat
§
Europeesche
Akte, Belanda
§
Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957
|
Karier
|
§
Wartawan
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam penuh semangat
antikolonial
§
Pendiri
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada
3 Juli 1922
§
Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
|
Organisasi
|
§
Boedi
Oetomo 1908
§
Pendiri
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme
Indonesia) 25 Desember 1912
|
Penghargaan
|
§
Bapak
Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional
§
Pahlawan
Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959)
§
Semboyan
ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan
Nasional Indonesia.
§
Diabadikan
pada nama kapal perang Indonesia, “KRI
Ki Hajar Dewantara”.
§
Diabadikan
pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998
|
Nama Ki Hajar Dewantara
|
Nama Ki
Hajar Dewantara dipakai/dipergunakannya sejak saat RM Suwardi Suryaningrat
genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa.
Ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
|
Perjuangan Ki Hajar Dewantara
Sejak
menjabat sebagai seksi propaganda pada organisasi Budi Utomo (BU), Ki Hajar
Dewantara aktif dalam mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. sampai diselenggarakannya Kongres
pertama BU di Yogyakarta.
Menjadi
anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum
Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, yang didirikan
oleh Ernest Douwes Dekker (terkenal dengan sebutan DD). Keemudian urut
mendirikan organisasi Indische Partij bersama Douwes Dekker,
Dalam
kesibukannya sebagai wartawan koran dan majalah, Ki Hajar Dewantara
memanfaatkan perjuangan melawan kolonial dengan buah tulisan yang mengkritik
tajam diantaranya tulisan yang berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Dan yang paling mengejutkan Belanda asalah tulisan beliau yang berjudul “Als ik
een Nederlander was” (seandainya saya menjadi seorang belanda) yang dimuat dalam
surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, terbitan tanggal 13 Juli 1913.
Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.
Berikut
kutipan tulisan tersebut
"Sekiranya aku
seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita
keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Akibat
tulisan ini ia ditangkap (atas perintah Gubernur Jenderal Idenburg). Kedua
rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan pembelaan dan memprotes
penangkapan ini, namun akhirnya mereka bertiga justru ditangkap dan dibuang (diasingkan)
ke Belanda pada tahun 1913 hingga September 1919 baru bebas dan kembali ke
Indonesia.. Ketiga tokoh ini (Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki
Hajar Dewantara) dikemudian hari dikenal sebagai "Tiga Serangkai".
Sekembalinya
ke Indonesia Ki Hajar Dewantara mulai mengembangkan konsep pemikiran dan
gagasannya tentang dunia pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara
mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogjakarta. Sekolah ini waktu itu diberi nama
"National
Onderwijs Institut Taman Siswa", yang didirikan bersama dengan teman-temannya di paguyuban
Sloso Kliwon.
Sekolah
Taman Siswa ini hingga sekarang masih berdiri dan berpusat di balai Ibu
Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129
sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.
Semboyan
dalam sistem pendidikan gagasan Ki Hajar Dewantara yang hingga kini masih dipakai
dipergunakan dalam masyarakat Indonesia juga di kalangan praktisi pendidikan di
Indonesia adalah :
ing ngarsa sung tulada = di
depan memberi contoh
ing madya mangun karsa = di
tengah memberi semangat
tut wuri handayani = di
belakang memberi dorongan
Untuk
mengenang jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa
mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan
nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Koleksi
dalam museum ini terutama yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah
penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar Dewantara sebagai
jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
disalin kembali dari berbagai sumber